Apa yang Kami Lakukan di Bali? Sebuah Catatan Perjalanan

Saya baru saja kembali sehabis perjalanan Bandung – Bali selama satu minggu menggunakan bis. Iya. Bis. Sungguh perjalanan yang melelahkan namun banyak kenangan. Bukan tanpa alasan perjalanan ini dilakukan. Di baliknya, terdapat beberapa Mata Kuliah yang harus kami —teman-teman dari Program Studi Perpustakaan dan Sains Informasi angkatan 2016 Universitas Pendidikan Indonesia— pelajari selama berada di Bali, utamanya adalah Mata Kuliah Manajemen Museum.

Copyright: Idham



Melihat mata kuliah yang kami bawa, tentu saja tujuan utama kami ke Bali adalah mengunjungi salah satu atau dua museum yang ada di sana. Setelah menempuh sekitar 36 jam perjalanan dan beristirahat di hotel selama 10 – 12 jam, pada hari ke-3, observasi kunjungan pun dimulai. Sebelum mengunjungi museum, kami dijadwalkan untuk mengunjungi Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Kota Denpasar. Sebelum masuk ke area DPK yang terletak di komplek pemerintahan kota Denpasar, kami disambut oleh suasana Bali yang sangat kentara utamanya dari tampilan gedung DPK itu sendiri, dilengkapi oleh bau dupa yang menyebar di sekitar ruangan.

Di ruangan terdepan, kami disambut dengan museum kecil yang kelak disebut sebagai museum digital. Sayang, beberapa properti pendukung untuk keberlangsungan museum digital ini sedang dalam perbaikan (bahkan beberapa ada yang rusak) sehingga koleksinya tidak bisa dieksplor lebih jauh. Ada hal menarik yang dikatakan oleh petugas (bukan pustakawan) di DPK Kota Denpasar ini, salah satu kendala yang dialami oleh DPK Kota Denpasar adalah keterbatasan tempat untuk melayankan koleksi mereka. Meskipun suasana yang dibangun di depan perpustakaan sudah sangat ‘khas Bali’, namun ketika kami masuk ke dalam perpustakaannya memang dirasa kurang luas. Maka saya rasa wajar ketika pihak DPK menyatakan bahwa mereka merasa kurang maksimal dalam melayani pemustaka.

L for Library and Literacy. Not a campaign! (Dok. Pribadi)

Setelah observasi kunjungan di DPK Kota Denpasar, perjalanan dilanjutkan menuju Museum Perjuangan Rakyat Bali (Monumen Bajra Sandhi) yang merupakan objek utama tujuan kegiatan observasi kami. Monumen ini dibangun sebagai bentuk penghormatan pada para pahlawan yang telah berjuang dalam mempertahankan Propinsi Bali di masa penjajahan dengan konsep bangunan dari luar yang terlihat seperti candi. Filosofi bangunan museum mencerminkan sifat nasionalisme, dengan jumlah anak tangga sebanyak 17, jumlah tiang penyangga sebanyak 8, dan ketinggian bangunan setinggi 45 meter di atas permukaan tanah. Kami dibuat terperangah dengan kemegahan Monumen Bajra Sandhi yang langsung menyambut kedatangan kami sebagai pengunjung. Kami disambut dengan baik. Selain itu, museum juga menyediakan jogging track di sekitaran monumen yang sengaja dibangun sebagai fasilitas masyarakat untuk berolahraga. Hal ini juga dilakukan untuk memanfaatkan lokasi monumen yang terletak di pusat kota Denpasar. 

Mendung tapi tetep keren (Dok. Pribadi)

AKHIRNYA BALI WOY!! (Dok. Pribadi)

Kami memasuki ruangan museum dan langsung berhadapan dengan 33 diorama yang menceritakan 6 sisi sejarah Bali, mulai dari Bali pada zaman pra-sejarah, zaman sejarah, Bali kuno, Bali major, Bali zaman penjajahan, dan terakhir adalah Bali zaman pasca kemerdekaan. Ke-33 diorama ini secara visual sangat menarik dan menggambarkan suasana yang sesungguhnya pada waktu saat itu terjadi dan ditempatkan secara melingkar agar pengunjung dapat menikmati setiap koleksinya secara berurutan sesuai dengan masanya. Dengan suasana Bali yang khas, pihak museum berusaha untuk menyampaikan pesan yang ingin mereka sampaikan melalui museum untuk mengedukasi, merekonstruksi ulang apa yang sudah terjadi, men-suritauladani para pejuang terdahulu sebagai pembelajaran di masa yang akan datang. Observasi hari ke-3 berakhir, kami melanjutkan pejalanan menuju Pantai Jimbaran untuk sunset dan makan malam. Pantai Jimbaran kelak menjadi saksi bisu mengenai kedekatan serta kebersamaan kami selama melaksanakan kegiatan studi komparatif ini. Hatur nuhun!


Orang Gunung ke Laut. Di Bandung mana ada pantai (Dok. Pribadi)


Keseruan kami dan dosen pembimbing lapangan (Dok. Pribadi)

Senja dan gitar. Bukan Indie. Tapi pop Indo 2000an. Hahaha (Dok. Pribadi)

Sebagian dari kami. Aku ujung kiri pake topi (Dok. Pribadi)

Hari ke-4 kami diagendakan untuk menonton penampilan Tari Kecak di Pantai Pandawa. Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2015 tentang Museum menjelaskan bahwa museum tidak hanya menyimpan koleksi berupa benda bernilai sejarah hasil alam, namun juga dapat berupa budaya hasil manusia untuk upaya perlindungan dan pelestarian agar keberadaannya tetap terjaga. Saya kira, penampilan Tari Kecak ini merupakan salah satu upaya pelestarian yang dilakukan oleh masyarakat setempat umumnya masyarakat Propinsi Bali. Berlatarkan pemandangan yang mengarah langsung ke arah Samudera Hindia dan juga suasana sunset di Pantai Pandawa memberikan kesan yang mendalam bagi penonton ketika menyaksikannya. Tari Kecak ini membawakan cerita mengenai penculikan Dewi Sinta oleh Rawana dan dibawakan tanpa menggunakan alat musik, namun diiringi dengan “mantra-mantra” serta kata “cak” yang digaungkan terus-menerus selama tarian berlangsung. Kami terpana. Hari semakin menjadi gelap dan tarianpun berakhir dengan adegan di mana Hanoman pergi menghampiri penonton dan mengajakanya foto bersama. Meskipun di antara mereka tampaknya ketakuan melihat Hanoman. Padahal saya kira, Hanoman cukup menarik... ketika dia menggunakan topengnya tentu saja.

Suasana tari kecak (Dok. Pribadi)

Hanoman yang mau dibakar (Dok. Pribadi)

Habis tampil lalu foto bersama (Dok. Pribadi)

Di manapun, museum akan selalu menjadi tempat di mana semua koleksi yang memiliki nilai sejarah dan budaya disimpan dan dikelola untuk kemudian dipamerkan kepada khalayak luas. Ada yang berupa koleksi benda maupun yang bersifat budaya masyarakat. Semua perlu dilestarikan agar tidak menghilang ditelan zaman. Museum juga sebagai salah satu tempat untuk kegiatan wisata edukasi bagi masyarakat, selayaknya harus mampu memenuhi segala kebutuhan pengunjung baik secara fisik maupun psikis. Dan bagi kami, tiga objek museum yang menjadi tujuan kunjungan kami telah meberikan semuanya. Kami berbahagia. Meskipun Bandung tetap kami rindukan.

Terima kasih yang tak terhingga saya ucapkan selaku penanggung jawab Mata Kuliah LM302 – Manajemen Museum kepada:

Tim dosen LM302 – Manajemen Museum yakni Ibu Erlina, Pak Angga, dan Pak Ajie yang memberikan kami kesempatan untuk dapat melaksanakan kegiatan studi komparatif ini ke Bali.

Para panitia di balik layar yang sudah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk mengurus segala macam keperluan sejak sebelum dan selama kegiatan. Guys, thanks!

Rekan-rekan Librarious 2K16 yang telah meluangkan biaya, waktu, dan tenaganya untuk mengikuti kegiatan ini. Makasi banyak woy udah menghargai kinerja anak-anak panitia yang udah susah payah ngurusin semuanya demi kita semua! Aku sebagai PJ bener-bener bersyukur melihat antusias temen-temen buat kegiatan ini. Cukup mengobati diri yang ngebatin selama ngurusin mata kuliah ini. Hahaha..
 

Sekian. See u readers :)) 


p.s: Tulisan ini dibuat berdasarkan pengalaman penulis selama mengikuti kegiatan Studi Komparatif bersama rekan-rekan Program Studi Perpustakaan dan Sains Informasi Universitas Pendidikan Indonesia angkatan 2016. Perjalanan yang dilakukan selama satu minggu mulai tanggal 23 November – 30 November 2018 akhirnya sukses diadakan. Tulisan di publish karena sayang aja sih kalau nganggur doang di folder tugas. Terima kasih karena sudah berkenan membacanya :)

Best regard,
Hap

Mungkin Kamu Tertarik~

Apa yang Kami Lakukan di Bali? Sebuah Catatan Perjalanan

Saya baru saja kembali sehabis perjalanan Bandung – Bali selama satu minggu menggunakan bis. Iya. Bis. Sungguh perjalanan yang melelahk...